TEORI SEBAB KEJAHATAN
Adapun beberapa teori-teori tentang sebab-sbab terjadinya kejahatan,
yaitu :
1)
Teori lingkungan
Mazhab
ini dipelopori A. Lacassagne. dalam teori sebab-sebab terjadinya kejahatan yang
mendasarkan diri pada pemikiran bahwa “dunia lebih bertanggung jawab atas jadinya
diri sendiri”.[1]
Teori
ini merupakan reaksi terhadap teori antropologi dan mengatakan bahwa
lingkunganlah yang merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan
kejahatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah :
1.
Lingkungan yang memberi
kesempatan untuk melakukan kejahatan;
2.
Lingkungan pergaulan yang
memberi contoh dan teladan;
3.
Lingkungan ekonomi, kemiskinan
dan kesengsaraan;
2)
Lingkungan pergaulan yang
berbeda-beda.[2]
Jadi,
selian dari faktor internal (yang berasal dari diri pribadi), fakto eksternal
yaitu lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan kejahatan yang
bisa terjadi, seperti apa yang dinyatakan oleh W.A. Bonger yaitu “Pengaruh
lingkungan sangat berpengaruh dalam menentukan kepribadian seseorang, apakah ia
akan menjadi orang jahat atau baik.”
3)
Teori Kontrol Sosial
Pendapat
mengenai kontrol sosial dikemukakan oleh Reiss yang mengatakan bahwa :
Ada
tiga komponen dari kontrol sosial yaitu kurangnya kontrol internal yang wajar
selama masih anak-anak, hilangnya kontrol tersebut dan tidak adanya norma-norma
sosial atau konflik norma-norma yang dimaksud. Ada dua macam kontrol yaitu
personal kontrol dan sosial kontrol. Personal kontrol (internal kontrol) adalah
kemampuan seseorang untuk menahan diri agar seseorang tidak mencapai
kebutuhannya dengan cara melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat.
Sedangkan Kontrol Sosial (eksternal kontrol adalah kemampuan kelompok sosial
atau lembaga dalam masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan
menjadi efektif.[3]
Kontrol
sosial baik personal kontrol maupun sosial kontrol menentukan seseorang dapat
melakukan kejahatan atau tidak, karena pada keluarga atau masyarakat yang
mempunyai sosial kontrol yang disiplin maka kemungkinan terjadinya suatu
kejahatan akan kecil, begitu juga sebaliknya, suatu keluarga atau masyarakat
yang tidak mempunyai kontrol yang kuat maka kejahatan bisa saja mudah terjadi
akibat dari tidak disiplinnya suatu kontrol tersebut.
4)
Teori Spiritualisme
Menurut
teori ini sebab terjadinya kejahatan dapat dilihat dair sudut kerohanian dan
keagamaan, karena sebab terjadinya kejahatan adalah tidak beragamanya
seseorang. Oleh karena itu, semakin jauh hubungan seseorang dengan agama
seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk melakukan kejahatan
dan sebaliknya, semakin dekat seseorang dengan agamanya maka semakin takut
orang tersebut untuk melakukan hal-hal yang menjurus kepada kejahatan.
5)
Teori Multi Faktor
Teori
ini sangat berbeda dengan teori-teori sebelumnya dalam memberi tanggapan
terhadap kejahatan dengan berpendapat sebagai berikut: “Penyebabnya terjadi
kejahatan tidak ditentukan oleh satu atau dua faktor yang menjadi penyebab
kejahatan”.
Jadi,
menurut teori ini, penyebab terjadinya kejahatan tidak ditentukan hanya dari
dua teori saja, tetapi dapat lebih dari itu.
Dalam
hal penanggulangan kejahatan, maka perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan
sebelum terjadinya kejahatan serta memperbaiki pelaku yang telah diputuskan
bersalah mengenai pengenaan hukuman. Dari usaha-usaha tersebut sebenarnya yang
lebih baik adalah usaha mencegah sebelum terjadinya kejahatan daripada
memperbaiki pelaku yang telah melakukan kejahatan.
Menurut
Soedjono D mengatakan bahwa dapat dilakukan usaha-usaha sebagai berikut :
“Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi tindakan
preventif dan represif. Bertolak pada pemikiran bahwa usaha penanggulangan
kejahatan remaja merupakan langkah utama bagi penanggulangan kejahatan secara
umum”.
a.
Penanggulangan yang terarah
harus meliputi tindakan preventif dan rehabilitas sosial.
b.
Usaha penanggulangan kejahatan
yagn sebaik-baiknya harus meliputi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1.
Sistem dan organisasi
kepolisian yang baik;
2.
Peradilan yang objektif;
3.
Hukum dan perundang-undangan
yang wibawa;
4.
Koordinasi antara penegak hukum
dan aparat pemerintah yang serasi;
5.
Pembinaan organisasi
kemasyarakatan;
6.
Partisipasi masyarakat;
Pengawasan dan kesiagaan terhadap
kemungkinan timbulnyanya kejahatan.[4]
Penanggulangan kejahatan kalau
diartikan secara luas akan banyak pihak yang terlibat didalamnya antara lain
adalah pembentuk undang-undang, kejaksaan, pamong praja dan aparat eksekusi
serta orang biasa.[5]
Hal ini sesuai dengan pendapat
Soejono D. yang merumuskan sebagai berikut :
Kejahatan sebagai perbuatan yang
sangat merugikan masyarakat dilakukan oleh anggota masyarakat itu juga, maka
masyarakat juga dibebankan kewajiban demi keselamatan dan ketertibannya,
masyarakat secara keseluruhan ikut bersama-sama badan yang berwenang
menanggulangi kejahatan.[6]
Berdasarkan uraian di atas maka
usaha-usaha untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya kejahatan, maka kepada
masyarakat juga di bebankan untuk turut serta bersama-sama aparat penegak hukum
guna menanggulangi kejahatan semaksimal mungkin.
TEORI PENANGGULANGAN KEJAHATAN
Dalam usaha untuk menanggulangi kejahatan mempunyai dua
cara yaitu preventif (mencegah sebelum terjadinya kejahatan) dan tindakan
represif
(usaha sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan pula masing-masing
usaha tersebut :
(usaha sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan pula masing-masing
usaha tersebut :
1.
Tindakan Preventif
Tindakan
preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga
kemungkinan akan terjadinya kejahatan.
Menurut
A. Qirom Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah
mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali,
sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan
mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.[7]
Selanjutnya
Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang terpenting adalah :
1)
Preventif kejahatan dalam arti
luas, meliputi reformasi dan prevensi dalam arti sempit;
2)
Prevensi kejahatan dalam arti
sempit meliputi :
a.
Moralistik yaitu
menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat memperteguhkan moral seseorang agar
dapat terhindar dari nafsu
berbuat jahat.
berbuat jahat.
b.
Abalionistik yaitu berusaha
mencegah tumbuhnya keinginan kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang
terkenal sebagai penyebab timbulnya kejahatan, Misalnya memperbaiki ekonmi
(pengangguran, kelaparan, mempertinggi peradapan, dan lain-lain);
3)
Berusaha melakukan pengawasan
dan pengontrolan terhadap kejahatan dengan berusaha menciptakan;
a.
Sistem organisasi dan
perlengkapan kepolisian yang baik,
b.
Sistem peradilan yang objektif
c.
Hukum (perundang-undangan) yang
baik.
4)
Mencegah kejahatan dengan
pengawasan dan patrol yang teratur;
5)
Pervensi kenakalan anak-anak
sebagai sarana pokok dalam usahah prevensi kejahatan pada umumnya.[8]
2.
Tindakan Represif
Tindakan
represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum
sesudah terjadinya tindakan pidana.[9]
Tindakan
respresif lebih dititikberatkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana,
yaitu antara lain dengan memberikan hukum (pidana) yang setimpal atas
perbuatannya.
Tindakan
ini sebenarnya dapat juga dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan
datang. Tindakan ini meliputi cara aparat penegak hukum dalam melakukan
penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan,
eksekusi dan seterusnya sampai pembinaan narapidana.
Penangulangan
kejahatan secara represif ini dilakukan juga dengan tekhnik rehabilitas,
menurut Cressey terdapat dua konsepsi mengenai cara atau tekhnik rehabilitasi,
yaitu :
1.
Menciptakan sistem program yang
bertujuan untuk menghukum penjahat, sistem ini bersifat memperbaiki antara lain
hukuman bersyarat dan hukuman kurungan.
2.
Lebih ditekankan pada usaha
agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa, selama menjalankan hukuman dicarikan
pekerjaan bagi terhukum dan konsultasi psikologis, diberikan kursus
keterampilan agar kelak menyesuaikan diri dengan masyarakat.[10]
Tindakan represif juga disebutkan
sebagai pencegahan khusus, yaitu suatu usaha untuk menekankan jumlah kejahatan
dengan memberikan hukuman (pidana) terhadap pelaku kejahatan dan berusaha pula
melakukan perbuatan denganjalan memperbaiki si pelaku yang berbuat kejahatan.
Jadi lembaga permasyarakatan bukan hanya tempat untuk mendidik narapidana untuk
tidak lagi menjadi jahat atau melakukan kejahatan yang pernah dilakukan.
Kemudian upaya penanggulangan
kejahatan yang sebaik-baiknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(1)
Sistem dan operasi Kepolisian
yang baik.
(2)
Peradilan yang efektif.
(3)
Hukum dan perundang-undangan
yang berwibawa.
(4)
Koodinasi antar penegak hukum
dan aparatur pemerintah yang serasi.
(5)
Partisipasi masyarakat dalam
penangulangan kejahatan.
(6)
Pengawasan dan kesiagaan
terhadpa kemungkinan timbulnya kejahatan.
(7)
Pembinaan organisasi
kemasyarakatan.[11]
Pokok-pokok usaha penanggulangan
kejahatan sebagaimana tersebut diatas merupakan serangkaian upaya atau kegiatan
yagn dilakukan oleh Polisi dalam rangka menanggulangi kejahatan, termasuk
tindak pidana perjudian.
[1] Soejono, D.. Doktrin-doktrin
krimonologi, Alumni, Bandung, 1973, Hal. 42.
[2] Soejono, D., Penanggulangan
Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976, Hal. 42.
[3] Romli atmasasmita, Teori dan
Kapita Selekta Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1992, Hal. 32.
[4] Muladi, Lembaga Pidana
Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, Hal. 61.
[5] Soedarto, Kapita Selekta
Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, Hal. 113
[6] Soedjono D, Penanggulangan
Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976, Hal. 31
[7] A. Qirom Samsudin M, Sumaryo E., Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Segi Psikologis dan Hukum, Liberti,
Yogyakarta, 1985, hal. 46
[8] Bonger, Pengantar Tentang
Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 15
[9] Soejono D, Op. Cit, hal.
32
[10] Simanjuntak B dan Chairil Ali, Cakrawala
Baru Kriminologi, Trasito, Bandung, 1980, hal. 399.
[11] Soedjono, D, Op. Cit, hal.
45.
No comments:
Post a Comment