Tuesday 4 March 2014

Pengaturan Tindak Pidana Trafficking di Indonesia



PENGATURAN TINDAK PIDANA TRAFFICKING DI INDONESIA
Perdagangan orang dalam pengertian sederhana merupakan sebuah bentuk perdagangan modern. Tidak hanya merampas Hak azasi korban, tetapi juga membuat mereka rentan terhadap penganiayaan, siksaan fisik, kerja paksa, penyakit dan trauma psikis, bahkan cacat dan kematian, tapi juga menjatuhkan harga diri dan martabat bangsa. Perdagangan orang merupakan jenis perbudakan pada era modern ini. Setiap tahun diperkirakan ada dua juta manusia diperdagangkan, dan sebagian besarnya adalah perempuan dan anak. Pada tingkat dunia, perdagangan perempuan dan anak, terkait erat dengan kriminalitas transnasional, dan dinyatakan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga menyebutkan "Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang"
Usaha menanggulangi kejahatan perdagangan orang memerlukan sumber daya yang besar dan waktu yang lama, apalagi perdagangan orang merupakan kejahatan transnasional yang terorganisir. Diperlukan konsolidasi antara unsur-unsur penyelenggara negara dan juga kerja sama dengan negara-negara lain agar upaya-upaya penanggulangan perdagangan orang dapat berjalan dengan efektif. Dengan usaha bersama diupayakan dengan lahir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Keppres Nomor 59 Tahun 2002 Tentang Penghapusan RAN Pengahapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Buruk Untuk Anak, Keppres Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak.[1]
Perdagangan orang telah dikriminalisasi dalam hukum Indonesia. Perdagangan disebut secara eksplisit dalam KUH Pidana dan Undang-Undang  Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut:
Pasal 297 KUH Pidana menyatakan bahwa:
"Perdagangan wanita (umur tidak disebutkan) dan perdagangan anak-anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun".[2]
Pasal 65 dalam Undang-Undang  Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa:
"setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".
Definisi substansial lebih rinci dan operasional dikeluarkan oleh PBB dalam Protokol untuk mencegah, menekan, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak. Konvensi PBB tersebut menentang kejahatan terorganisir transnasional tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang paling diterima secara umum dan digunakan secara luas. Pasal 3 protokol ini menyatakan:[3]
a)      Perdagangan  manusia  haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau  menerima  individu-individu,  dengan  cara  mengancam  atau  penggunaan  paksaan  atau bentuk-bentuk  kekerasan  lainnya,  penculikan,  penipuan,  kebohongan,  penyalahgunaan kekuasaan  atau  pemanfaatan  sebuah  posisi  yang  rentan  atau  pemberian  atau  penerimaan pembayaran  atau  keuntungan  untuk  mendapatkan  ijin  dari  seseorang  untuk  memeiliki  kontrol terhadap  orang  lain,  dengan  tujuan-tujuan  untuk  mengeksploitasi.  Eksploitasi  haruslah mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau bentuk-bentuk  lain  dari  eksploitasi  seksual,  kerja  paksa, perbudakan  atau  praktek-praktek  yang  serupa dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ;
b)      Persetujuan  dari  seorang  korban  perdagangan  manusia  atas  eksploitasi  yang  disengaja  seperti yang  tertera  dalam  sub ayat (a)   pasal ini  haruslah  dianggap  batal  ketika  cara-cara  yang  tertera dalam subayat (a) digunakan dalam tindak perdagangan atau eksploitasi tersebut;
c)      Perekrutan,  pengiriman,  pemindahan,  penyembunyian  atau  penerimaan  seorang  anak  untuk tujuan  eksploitasi  harus  dianggap  sebagai  perdagangan  manusia,  meskipun  jika  hal  ini  tidak melibatkan cara-cara yang tertera dalam sub ayat (a) pasal ini:
 “Anak-anak” harus berarti semua orang dibawah usia delapan belas tahun.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang adalah:
1.      Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
2.      Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan, paksaanm berbagai bentuk kekerasan,penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
3.      Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh.
Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena walaupun korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus eksploitasi. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 2 merumuskan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah:
"Orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,  pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan  paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".

Adapun beberapa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang antara lain adalah:
1.    Faktor ekonomi, kemiskinan dan kelangkaan lapangan kerja.
2.    Faktor sosial budaya, seperti relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, masih tingginya kecenderungan perkawinan di usia muda dan gaya hidup konsumtif yang tepat menjadi titik lemah ketahanan keluarga dan masyarakat.
3.    Faktor pendidikan yang masih rendah dan belum tersebarnya informasi yang utuh dan lengkap tentang perdagangan orang.
4.    Faktor penegakan hukum yang masih lemah yang belum mampu menembus jaringan pelaku perdagangan orang yang sudah terbangun dengan sistematis.




[1] Makbul Padmanegara, Pengalaman Polri Dalam Menindak Dan Menangani Kasus Perdagangan
Orang (Makalah Dsampaikan pada Temu Nasional Anti Perdagangan Orang dan Pengukuhan Presidium Nasional Mitra Gender dan Formatur Daerah Mitra Gender, Jakarta, 25 Januari 2006, hal. 5
[2] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terjemahan oleh Moeljatno, cet. 22, Jakarta: Sinar Grafika,
2003
[3] Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan Dan Anak Di Indonesia, Jakarta:USAID, 2003, hal. 287

No comments:

Post a Comment