PENGATURAN TINDAK PIDANA TRAFFICKING DI INDONESIA
Perdagangan orang dalam pengertian sederhana merupakan
sebuah bentuk perdagangan modern. Tidak hanya merampas Hak azasi korban, tetapi
juga membuat mereka rentan terhadap penganiayaan, siksaan fisik, kerja paksa,
penyakit dan trauma psikis, bahkan cacat dan kematian, tapi juga menjatuhkan
harga diri dan martabat bangsa. Perdagangan
orang merupakan jenis perbudakan pada era modern ini. Setiap tahun
diperkirakan ada dua juta manusia diperdagangkan, dan sebagian besarnya adalah
perempuan dan anak. Pada tingkat dunia, perdagangan perempuan dan anak, terkait
erat dengan kriminalitas transnasional, dan dinyatakan sebagai pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) berat.
Dalam Pasal 58 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 juga
menyebutkan "Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan
mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang"
Usaha menanggulangi kejahatan perdagangan orang memerlukan
sumber daya yang besar dan waktu yang lama, apalagi perdagangan orang merupakan
kejahatan transnasional yang terorganisir. Diperlukan konsolidasi antara
unsur-unsur penyelenggara negara dan juga kerja sama dengan negara-negara lain
agar upaya-upaya penanggulangan perdagangan orang dapat berjalan dengan
efektif. Dengan usaha bersama diupayakan dengan lahir Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Keppres Nomor 59 Tahun 2002 Tentang
Penghapusan RAN Pengahapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Buruk Untuk Anak, Keppres
Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan
Perempuan Dan Anak.[1]
Perdagangan orang telah dikriminalisasi dalam hukum
Indonesia. Perdagangan disebut secara eksplisit dalam KUH Pidana dan
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut:
Pasal 297 KUH Pidana
menyatakan bahwa:
"Perdagangan
wanita (umur tidak disebutkan) dan perdagangan anak-anak laki-laki yang belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun".[2]
Pasal 65 dalam
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa:
"setiap
anak berhak memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan
seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk
penyalahgunaan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".
Definisi substansial lebih rinci dan operasional dikeluarkan
oleh PBB dalam Protokol untuk mencegah, menekan, dan menghukum perdagangan
orang, terutama perempuan dan anak. Konvensi PBB tersebut menentang kejahatan
terorganisir transnasional tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang
paling diterima secara umum dan digunakan secara luas. Pasal 3 protokol ini
menyatakan:[3]
a)
Perdagangan manusia
haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan
atau menerima individu-individu, dengan
cara mengancam atau
penggunaan paksaan atau bentuk-bentuk kekerasan
lainnya, penculikan, penipuan,
kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau
pemanfaatan sebuah posisi
yang rentan atau
pemberian atau penerimaan pembayaran atau
keuntungan untuk mendapatkan
ijin dari seseorang
untuk memeiliki kontrol terhadap orang
lain, dengan tujuan-tujuan
untuk mengeksploitasi. Eksploitasi
haruslah mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi
terhadap seseorang atau bentuk-bentuk
lain dari eksploitasi
seksual, kerja paksa, perbudakan atau
praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau
penghilangan organ;
b)
Persetujuan dari
seorang korban perdagangan
manusia atas eksploitasi
yang disengaja seperti yang
tertera dalam sub ayat (a)
pasal ini haruslah dianggap
batal ketika cara-cara
yang tertera dalam subayat (a)
digunakan dalam tindak perdagangan atau eksploitasi tersebut;
c)
Perekrutan, pengiriman,
pemindahan, penyembunyian atau
penerimaan seorang anak
untuk tujuan eksploitasi harus
dianggap sebagai perdagangan
manusia, meskipun jika
hal ini tidak melibatkan cara-cara yang tertera dalam
sub ayat (a) pasal ini:
“Anak-anak” harus berarti
semua orang dibawah usia delapan belas tahun.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur dari perdagangan orang adalah:
1.
Perbuatan: merekrut, mengangkut,
memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
2.
Sarana (cara) untuk
mengendalikan korban: ancaman, penggunaan, paksaanm berbagai bentuk
kekerasan,penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
3.
Tujuan: eksploitasi, setidaknya
untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa,
perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh.
Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan
adalah unsur tujuan, karena walaupun korban anak-anak tidak dibatasi masalah
penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus eksploitasi. Dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal
2 merumuskan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah:
"Orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut
di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".
Adapun beberapa faktor-faktor penyebab
terjadinya tindak pidana perdagangan orang antara lain adalah:
1.
Faktor
ekonomi, kemiskinan dan kelangkaan lapangan kerja.
2.
Faktor sosial
budaya, seperti relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan,
masih tingginya kecenderungan perkawinan di usia muda dan gaya hidup konsumtif
yang tepat menjadi titik lemah ketahanan keluarga dan masyarakat.
3.
Faktor
pendidikan yang masih rendah dan belum tersebarnya informasi yang utuh dan
lengkap tentang perdagangan orang.
4.
Faktor
penegakan hukum yang masih lemah yang belum mampu menembus jaringan pelaku
perdagangan orang yang sudah terbangun dengan sistematis.
Orang (Makalah Dsampaikan pada Temu Nasional Anti Perdagangan Orang dan
Pengukuhan Presidium Nasional Mitra Gender dan Formatur Daerah Mitra Gender,
Jakarta, 25 Januari 2006, hal. 5
[2] Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, terjemahan oleh Moeljatno, cet. 22, Jakarta: Sinar Grafika,
2003
[3] Ruth Rosenberg, Perdagangan
Perempuan Dan Anak Di Indonesia, Jakarta:USAID, 2003, hal. 287
No comments:
Post a Comment