Saturday 8 March 2014

Hukum di Mata Kandidat Capres

Ada banyak tokoh yang dijadikan kandidat untuk calon presiden (capres) pada Pemilu 2014. Ada yang mengikuti konvensi partai, ada pula yang berasal dari konvensi rakyat. Beberapa kandidat itu hadir dalam debat capres yang digelar Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, Jum’at (07/3). Tampak hadir para kandidat capres Anies Baswedan, Gita Wirjawan, Ali Masykur Musa, Rizal Ramli, Yusril Ihza Mahendra, dan Isran Noor.

Menarik untuk melihat pandangan para kandidat capres tentang hukum. Termasuk bagian mana dari penegakan hukum yang penting dikedepankan.

Yusril Ihza Mahendra melihat persoalan yang dihadapi Indonesia secara umum meliputi dua bidang yaitu hukum dan ekonomi. Walau Indonesia menyimpan banyak potensi besar, namun karena kesalahan sistem dan manajemen, kesejahteraan tidak terwujud secara optimal. Oleh karenanya jika terpilih menjadi Presiden, pertama kali yang akan dilakukan Yusril adalah fokus membenahi kedua bidang itu.

Setelah membentuk sistem hukum yang benar dan membenahi kinerja aparat penegak hukum, Yusril melanjutkan, maka dilanjutkan dengan menerapkan kebijakan. Namun, pembenahan itu baru dapat dilakukan jika pemerintahan dipimpin orang yang berjiwa negarawan dan mampu bekerja profesional. Berdasarkan pengalamannya sebagai Menteri, Yusril mengatakan acapkali gagasan perbaikan hukum mentok di tangan Presiden. “Presiden dapat memberi arahan kepada aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Penegakan hukum berkaitan dengan aparat penegak hukum,” katanya.

Gita Wirjawan mengatakan penegakan hukum berperan untuk menghadirkan kesejahteraan rakyat. Penegakan hukum menjadi salah satu agenda penting yang bakal dijalankan jika mantan Menteri Perdagangan (Mendag) itu terpilih menjadi Presiden. Untuk mewujudkan hal itu Gita berjanji bakal menambah jumlah penyidik KPK. Jumlah penyidik KPK dia anggap masih kurang, belum sebanding dengan beban kasus korupsi yang ditangani. “Kalau saya jadi Presiden, saya akan buka kantor KPK di setiap provinsi,” ujarnya.

Sedangkan Isran Noor berpendapat sistem hukum yang buruk berpotensi membuat orang melakukan pelanggaran. Sayangnya, saat ini pemerintah melakukan pembiaran sehingga tidak ada perbaikan dalam sistem hukum yang ada. Ke depan, dibutuhkan pemimpin yang mampu mengintervensi sistem hukum itu agar berjalan ke arah yang lebih baik. Bagi Isran, Presiden dapat melakukan hal itu. “Yang tidak boleh itu mengintervensi proses hukum yang berjalan,” ucapnya.

Soal penegakan hukum yang ada di Indonesia saat ini, Anies Baswedan merasa prihatin. Baginya, persoalan itu bukan hanya disebabkan oleh kesalahan pemerintah saja, tapi berbagai pihak. Untuk itu perlu terobosan untuk membenahi hal tersebut. Misalnya, mengembalikan kepercayaan diri aparat penegak hukum baik yang ada di Kepolisian dan Kejaksaan.

Namun Anies menekankan Indonesia butuh pemimpin yang berani untuk menghadirkan terobosan itu. Sehingga dapat mengeksekusi pembenahan-pembenahan yang perlu dilakukan di Kepolisian dan Kejaksaan. Selain itu dibutuhkan kebijakan untuk memberikan insentif kepada orang-orang yang patuh hukum. Sebaliknya, untuk pelanggar hukum perlu diberikan disinsentif.

Untuk menunjang kebijakan itu Anies membutuhkan kartu identitas tunggal yang ditambah informasi tentang catatan kriminal. Dengan begitu maka aparat berwenang dapat mudah melihat catatan kriminal seseorang guna memutuskan apakah yang bersangkutan bisa diberi insentif atau tidak. Insentif dapat berbentuk berbagai hal, antara lain kemudahan mengakses kredit. “Jadi orang yang taat aturan hukum akan mendapat insentif. Adanya sistem catatan kriminal itu berperan membentuk masyarakat yang taat hukum,” pungkasnya.

Tuesday 4 March 2014

Pengaturan Tindak Pidana Trafficking di Indonesia



PENGATURAN TINDAK PIDANA TRAFFICKING DI INDONESIA
Perdagangan orang dalam pengertian sederhana merupakan sebuah bentuk perdagangan modern. Tidak hanya merampas Hak azasi korban, tetapi juga membuat mereka rentan terhadap penganiayaan, siksaan fisik, kerja paksa, penyakit dan trauma psikis, bahkan cacat dan kematian, tapi juga menjatuhkan harga diri dan martabat bangsa. Perdagangan orang merupakan jenis perbudakan pada era modern ini. Setiap tahun diperkirakan ada dua juta manusia diperdagangkan, dan sebagian besarnya adalah perempuan dan anak. Pada tingkat dunia, perdagangan perempuan dan anak, terkait erat dengan kriminalitas transnasional, dan dinyatakan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga menyebutkan "Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang"
Usaha menanggulangi kejahatan perdagangan orang memerlukan sumber daya yang besar dan waktu yang lama, apalagi perdagangan orang merupakan kejahatan transnasional yang terorganisir. Diperlukan konsolidasi antara unsur-unsur penyelenggara negara dan juga kerja sama dengan negara-negara lain agar upaya-upaya penanggulangan perdagangan orang dapat berjalan dengan efektif. Dengan usaha bersama diupayakan dengan lahir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Keppres Nomor 59 Tahun 2002 Tentang Penghapusan RAN Pengahapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Buruk Untuk Anak, Keppres Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak.[1]
Perdagangan orang telah dikriminalisasi dalam hukum Indonesia. Perdagangan disebut secara eksplisit dalam KUH Pidana dan Undang-Undang  Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut:
Pasal 297 KUH Pidana menyatakan bahwa:
"Perdagangan wanita (umur tidak disebutkan) dan perdagangan anak-anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun".[2]
Pasal 65 dalam Undang-Undang  Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa:
"setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".
Definisi substansial lebih rinci dan operasional dikeluarkan oleh PBB dalam Protokol untuk mencegah, menekan, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak. Konvensi PBB tersebut menentang kejahatan terorganisir transnasional tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang paling diterima secara umum dan digunakan secara luas. Pasal 3 protokol ini menyatakan:[3]
a)      Perdagangan  manusia  haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau  menerima  individu-individu,  dengan  cara  mengancam  atau  penggunaan  paksaan  atau bentuk-bentuk  kekerasan  lainnya,  penculikan,  penipuan,  kebohongan,  penyalahgunaan kekuasaan  atau  pemanfaatan  sebuah  posisi  yang  rentan  atau  pemberian  atau  penerimaan pembayaran  atau  keuntungan  untuk  mendapatkan  ijin  dari  seseorang  untuk  memeiliki  kontrol terhadap  orang  lain,  dengan  tujuan-tujuan  untuk  mengeksploitasi.  Eksploitasi  haruslah mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau bentuk-bentuk  lain  dari  eksploitasi  seksual,  kerja  paksa, perbudakan  atau  praktek-praktek  yang  serupa dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ;
b)      Persetujuan  dari  seorang  korban  perdagangan  manusia  atas  eksploitasi  yang  disengaja  seperti yang  tertera  dalam  sub ayat (a)   pasal ini  haruslah  dianggap  batal  ketika  cara-cara  yang  tertera dalam subayat (a) digunakan dalam tindak perdagangan atau eksploitasi tersebut;
c)      Perekrutan,  pengiriman,  pemindahan,  penyembunyian  atau  penerimaan  seorang  anak  untuk tujuan  eksploitasi  harus  dianggap  sebagai  perdagangan  manusia,  meskipun  jika  hal  ini  tidak melibatkan cara-cara yang tertera dalam sub ayat (a) pasal ini:
 “Anak-anak” harus berarti semua orang dibawah usia delapan belas tahun.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang adalah:
1.      Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
2.      Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan, paksaanm berbagai bentuk kekerasan,penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
3.      Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh.
Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena walaupun korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus eksploitasi. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 2 merumuskan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah:
"Orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,  pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan  paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".

Adapun beberapa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang antara lain adalah:
1.    Faktor ekonomi, kemiskinan dan kelangkaan lapangan kerja.
2.    Faktor sosial budaya, seperti relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, masih tingginya kecenderungan perkawinan di usia muda dan gaya hidup konsumtif yang tepat menjadi titik lemah ketahanan keluarga dan masyarakat.
3.    Faktor pendidikan yang masih rendah dan belum tersebarnya informasi yang utuh dan lengkap tentang perdagangan orang.
4.    Faktor penegakan hukum yang masih lemah yang belum mampu menembus jaringan pelaku perdagangan orang yang sudah terbangun dengan sistematis.




[1] Makbul Padmanegara, Pengalaman Polri Dalam Menindak Dan Menangani Kasus Perdagangan
Orang (Makalah Dsampaikan pada Temu Nasional Anti Perdagangan Orang dan Pengukuhan Presidium Nasional Mitra Gender dan Formatur Daerah Mitra Gender, Jakarta, 25 Januari 2006, hal. 5
[2] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terjemahan oleh Moeljatno, cet. 22, Jakarta: Sinar Grafika,
2003
[3] Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan Dan Anak Di Indonesia, Jakarta:USAID, 2003, hal. 287

TEORI SEBAB DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN



TEORI SEBAB KEJAHATAN
Adapun beberapa teori-teori tentang sebab-sbab terjadinya kejahatan, yaitu :
1)      Teori lingkungan
Mazhab ini dipelopori A. Lacassagne. dalam teori sebab-sebab terjadinya kejahatan yang mendasarkan diri pada pemikiran bahwa “dunia lebih bertanggung jawab atas jadinya diri sendiri”.[1]
Teori ini merupakan reaksi terhadap teori antropologi dan mengatakan bahwa lingkunganlah yang merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah :
1.      Lingkungan yang memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan;
2.      Lingkungan pergaulan yang memberi contoh dan teladan;
3.      Lingkungan ekonomi, kemiskinan dan kesengsaraan;

2)      Lingkungan pergaulan yang berbeda-beda.[2]
Jadi, selian dari faktor internal (yang berasal dari diri pribadi), fakto eksternal yaitu lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan kejahatan yang bisa terjadi, seperti apa yang dinyatakan oleh W.A. Bonger yaitu “Pengaruh lingkungan sangat berpengaruh dalam menentukan kepribadian seseorang, apakah ia akan menjadi orang jahat atau baik.”

3)      Teori Kontrol Sosial
Pendapat mengenai kontrol sosial dikemukakan oleh Reiss yang mengatakan bahwa :
Ada tiga komponen dari kontrol sosial yaitu kurangnya kontrol internal yang wajar selama masih anak-anak, hilangnya kontrol tersebut dan tidak adanya norma-norma sosial atau konflik norma-norma yang dimaksud. Ada dua macam kontrol yaitu personal kontrol dan sosial kontrol. Personal kontrol (internal kontrol) adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar seseorang tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan Kontrol Sosial (eksternal kontrol adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga dalam masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif.[3]
Kontrol sosial baik personal kontrol maupun sosial kontrol menentukan seseorang dapat melakukan kejahatan atau tidak, karena pada keluarga atau masyarakat yang mempunyai sosial kontrol yang disiplin maka kemungkinan terjadinya suatu kejahatan akan kecil, begitu juga sebaliknya, suatu keluarga atau masyarakat yang tidak mempunyai kontrol yang kuat maka kejahatan bisa saja mudah terjadi akibat dari tidak disiplinnya suatu kontrol tersebut.

4)      Teori Spiritualisme
Menurut teori ini sebab terjadinya kejahatan dapat dilihat dair sudut kerohanian dan keagamaan, karena sebab terjadinya kejahatan adalah tidak beragamanya seseorang. Oleh karena itu, semakin jauh hubungan seseorang dengan agama seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk melakukan kejahatan dan sebaliknya, semakin dekat seseorang dengan agamanya maka semakin takut orang tersebut untuk melakukan hal-hal yang menjurus kepada kejahatan.

5)      Teori Multi Faktor
Teori ini sangat berbeda dengan teori-teori sebelumnya dalam memberi tanggapan terhadap kejahatan dengan berpendapat sebagai berikut: “Penyebabnya terjadi kejahatan tidak ditentukan oleh satu atau dua faktor yang menjadi penyebab kejahatan”.
Jadi, menurut teori ini, penyebab terjadinya kejahatan tidak ditentukan hanya dari dua teori saja, tetapi dapat lebih dari itu.
Dalam hal penanggulangan kejahatan, maka perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan sebelum terjadinya kejahatan serta memperbaiki pelaku yang telah diputuskan bersalah mengenai pengenaan hukuman. Dari usaha-usaha tersebut sebenarnya yang lebih baik adalah usaha mencegah sebelum terjadinya kejahatan daripada memperbaiki pelaku yang telah melakukan kejahatan.
Menurut Soedjono D mengatakan bahwa dapat dilakukan usaha-usaha sebagai berikut :
“Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi tindakan preventif dan represif. Bertolak pada pemikiran bahwa usaha penanggulangan kejahatan remaja merupakan langkah utama bagi penanggulangan kejahatan secara umum”.
a.       Penanggulangan yang terarah harus meliputi tindakan preventif dan rehabilitas sosial.
b.      Usaha penanggulangan kejahatan yagn sebaik-baiknya harus meliputi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1.      Sistem dan organisasi kepolisian yang baik;
2.      Peradilan yang objektif;
3.      Hukum dan perundang-undangan yang wibawa;
4.      Koordinasi antara penegak hukum dan aparat pemerintah yang serasi;
5.      Pembinaan organisasi kemasyarakatan;
6.      Partisipasi masyarakat;

Pengawasan dan kesiagaan terhadap kemungkinan timbulnyanya kejahatan.[4]
Penanggulangan kejahatan kalau diartikan secara luas akan banyak pihak yang terlibat didalamnya antara lain adalah pembentuk undang-undang, kejaksaan, pamong praja dan aparat eksekusi serta orang biasa.[5]
Hal ini sesuai dengan pendapat Soejono D. yang merumuskan sebagai berikut :
Kejahatan sebagai perbuatan yang sangat merugikan masyarakat dilakukan oleh anggota masyarakat itu juga, maka masyarakat juga dibebankan kewajiban demi keselamatan dan ketertibannya, masyarakat secara keseluruhan ikut bersama-sama badan yang berwenang menanggulangi kejahatan.[6]
Berdasarkan uraian di atas maka usaha-usaha untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya kejahatan, maka kepada masyarakat juga di bebankan untuk turut serta bersama-sama aparat penegak hukum guna menanggulangi kejahatan semaksimal mungkin.

            TEORI PENANGGULANGAN KEJAHATAN
Dalam usaha untuk menanggulangi kejahatan mempunyai dua cara yaitu preventif (mencegah sebelum terjadinya kejahatan) dan tindakan represif
(usaha sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan pula masing-masing
usaha tersebut :
1.      Tindakan Preventif
Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan.
Menurut A. Qirom Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.[7]
Selanjutnya Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang terpenting adalah :
1)      Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan prevensi dalam arti sempit;
2)      Prevensi kejahatan dalam arti sempit meliputi :
a.       Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu
berbuat jahat.
b.      Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab timbulnya kejahatan, Misalnya memperbaiki ekonmi (pengangguran, kelaparan, mempertinggi peradapan, dan lain-lain);
3)      Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kejahatan dengan berusaha menciptakan;
a.       Sistem organisasi dan perlengkapan kepolisian yang baik,
b.      Sistem peradilan yang objektif
c.       Hukum (perundang-undangan) yang baik.
4)      Mencegah kejahatan dengan pengawasan dan patrol yang teratur;
5)      Pervensi kenakalan anak-anak sebagai sarana pokok dalam usahah prevensi kejahatan pada umumnya.[8]

2.      Tindakan Represif
Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana.[9]
Tindakan respresif lebih dititikberatkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, yaitu antara lain dengan memberikan hukum (pidana) yang setimpal atas perbuatannya.
Tindakan ini sebenarnya dapat juga dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang. Tindakan ini meliputi cara aparat penegak hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan, eksekusi dan seterusnya sampai pembinaan narapidana.
Penangulangan kejahatan secara represif ini dilakukan juga dengan tekhnik rehabilitas, menurut Cressey terdapat dua konsepsi mengenai cara atau tekhnik rehabilitasi, yaitu :
1.      Menciptakan sistem program yang bertujuan untuk menghukum penjahat, sistem ini bersifat memperbaiki antara lain hukuman bersyarat dan hukuman kurungan.
2.      Lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa, selama menjalankan hukuman dicarikan pekerjaan bagi terhukum dan konsultasi psikologis, diberikan kursus keterampilan agar kelak menyesuaikan diri dengan masyarakat.[10]

Tindakan represif juga disebutkan sebagai pencegahan khusus, yaitu suatu usaha untuk menekankan jumlah kejahatan dengan memberikan hukuman (pidana) terhadap pelaku kejahatan dan berusaha pula melakukan perbuatan denganjalan memperbaiki si pelaku yang berbuat kejahatan. Jadi lembaga permasyarakatan bukan hanya tempat untuk mendidik narapidana untuk tidak lagi menjadi jahat atau melakukan kejahatan yang pernah dilakukan.
Kemudian upaya penanggulangan kejahatan yang sebaik-baiknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(1)   Sistem dan operasi Kepolisian yang baik.
(2)   Peradilan yang efektif.
(3)   Hukum dan perundang-undangan yang berwibawa.
(4)   Koodinasi antar penegak hukum dan aparatur pemerintah yang serasi.
(5)   Partisipasi masyarakat dalam penangulangan kejahatan.
(6)   Pengawasan dan kesiagaan terhadpa kemungkinan timbulnya kejahatan.
(7)   Pembinaan organisasi kemasyarakatan.[11]

Pokok-pokok usaha penanggulangan kejahatan sebagaimana tersebut diatas merupakan serangkaian upaya atau kegiatan yagn dilakukan oleh Polisi dalam rangka menanggulangi kejahatan, termasuk tindak pidana perjudian.




[1] Soejono, D.. Doktrin-doktrin krimonologi, Alumni, Bandung, 1973, Hal. 42.
[2] Soejono, D., Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976, Hal. 42.
[3] Romli atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1992, Hal. 32.
[4] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, Hal. 61.
[5] Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, Hal. 113
[6] Soedjono D, Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976, Hal. 31
[7] A. Qirom Samsudin M, Sumaryo E., Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Segi Psikologis dan Hukum, Liberti, Yogyakarta, 1985, hal. 46
[8] Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 15
[9] Soejono D, Op. Cit, hal. 32
[10] Simanjuntak B dan Chairil Ali, Cakrawala Baru Kriminologi, Trasito, Bandung, 1980, hal. 399.
[11] Soedjono, D, Op. Cit, hal. 45.