Ada banyak tokoh yang dijadikan kandidat untuk calon presiden (capres)
pada Pemilu 2014. Ada yang mengikuti konvensi partai, ada pula yang
berasal dari konvensi rakyat. Beberapa kandidat itu hadir dalam debat
capres yang digelar Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, Jum’at
(07/3). Tampak hadir para kandidat capres Anies Baswedan, Gita Wirjawan,
Ali Masykur Musa, Rizal Ramli, Yusril Ihza Mahendra, dan Isran Noor.
Menarik untuk melihat pandangan para kandidat capres tentang hukum. Termasuk bagian mana dari penegakan hukum yang penting dikedepankan.
Yusril Ihza Mahendra melihat persoalan yang dihadapi Indonesia secara
umum meliputi dua bidang yaitu hukum dan ekonomi. Walau Indonesia
menyimpan banyak potensi besar, namun karena kesalahan sistem dan
manajemen, kesejahteraan tidak terwujud secara optimal. Oleh karenanya
jika terpilih menjadi Presiden, pertama kali yang akan dilakukan Yusril
adalah fokus membenahi kedua bidang itu.
Setelah membentuk sistem hukum yang benar dan membenahi kinerja aparat
penegak hukum, Yusril melanjutkan, maka dilanjutkan dengan menerapkan
kebijakan. Namun, pembenahan itu baru dapat dilakukan jika pemerintahan
dipimpin orang yang berjiwa negarawan dan mampu bekerja profesional.
Berdasarkan pengalamannya sebagai Menteri, Yusril mengatakan acapkali
gagasan perbaikan hukum mentok di tangan Presiden. “Presiden dapat
memberi arahan kepada aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan
Kejaksaan. Penegakan hukum berkaitan dengan aparat penegak hukum,”
katanya.
Gita Wirjawan mengatakan penegakan hukum berperan untuk menghadirkan
kesejahteraan rakyat. Penegakan hukum menjadi salah satu agenda penting
yang bakal dijalankan jika mantan Menteri Perdagangan (Mendag) itu
terpilih menjadi Presiden. Untuk mewujudkan hal itu Gita berjanji bakal
menambah jumlah penyidik KPK. Jumlah penyidik KPK dia anggap masih
kurang, belum sebanding dengan beban kasus korupsi yang ditangani.
“Kalau saya jadi Presiden, saya akan buka kantor KPK di setiap
provinsi,” ujarnya.
Sedangkan Isran Noor berpendapat sistem hukum yang buruk berpotensi
membuat orang melakukan pelanggaran. Sayangnya, saat ini pemerintah
melakukan pembiaran sehingga tidak ada perbaikan dalam sistem hukum yang
ada. Ke depan, dibutuhkan pemimpin yang mampu mengintervensi sistem
hukum itu agar berjalan ke arah yang lebih baik. Bagi Isran, Presiden
dapat melakukan hal itu. “Yang tidak boleh itu mengintervensi proses
hukum yang berjalan,” ucapnya.
Soal penegakan hukum yang ada di Indonesia saat ini, Anies Baswedan
merasa prihatin. Baginya, persoalan itu bukan hanya disebabkan oleh
kesalahan pemerintah saja, tapi berbagai pihak. Untuk itu perlu
terobosan untuk membenahi hal tersebut. Misalnya, mengembalikan
kepercayaan diri aparat penegak hukum baik yang ada di Kepolisian dan
Kejaksaan.
Namun Anies menekankan Indonesia butuh pemimpin yang berani untuk
menghadirkan terobosan itu. Sehingga dapat mengeksekusi
pembenahan-pembenahan yang perlu dilakukan di Kepolisian dan Kejaksaan.
Selain itu dibutuhkan kebijakan untuk memberikan insentif kepada
orang-orang yang patuh hukum. Sebaliknya, untuk pelanggar hukum perlu
diberikan disinsentif.
Untuk menunjang kebijakan itu Anies membutuhkan kartu identitas tunggal
yang ditambah informasi tentang catatan kriminal. Dengan begitu maka
aparat berwenang dapat mudah melihat catatan kriminal seseorang guna
memutuskan apakah yang bersangkutan bisa diberi insentif atau tidak.
Insentif dapat berbentuk berbagai hal, antara lain kemudahan mengakses
kredit. “Jadi orang yang taat aturan hukum akan mendapat insentif.
Adanya sistem catatan kriminal itu berperan membentuk masyarakat yang
taat hukum,” pungkasnya.
Law Order
Saturday, 8 March 2014
Tuesday, 4 March 2014
Pengaturan Tindak Pidana Trafficking di Indonesia
PENGATURAN TINDAK PIDANA TRAFFICKING DI INDONESIA
Perdagangan orang dalam pengertian sederhana merupakan
sebuah bentuk perdagangan modern. Tidak hanya merampas Hak azasi korban, tetapi
juga membuat mereka rentan terhadap penganiayaan, siksaan fisik, kerja paksa,
penyakit dan trauma psikis, bahkan cacat dan kematian, tapi juga menjatuhkan
harga diri dan martabat bangsa. Perdagangan
orang merupakan jenis perbudakan pada era modern ini. Setiap tahun
diperkirakan ada dua juta manusia diperdagangkan, dan sebagian besarnya adalah
perempuan dan anak. Pada tingkat dunia, perdagangan perempuan dan anak, terkait
erat dengan kriminalitas transnasional, dan dinyatakan sebagai pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) berat.
Dalam Pasal 58 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 juga
menyebutkan "Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan
mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang"
Usaha menanggulangi kejahatan perdagangan orang memerlukan
sumber daya yang besar dan waktu yang lama, apalagi perdagangan orang merupakan
kejahatan transnasional yang terorganisir. Diperlukan konsolidasi antara
unsur-unsur penyelenggara negara dan juga kerja sama dengan negara-negara lain
agar upaya-upaya penanggulangan perdagangan orang dapat berjalan dengan
efektif. Dengan usaha bersama diupayakan dengan lahir Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Keppres Nomor 59 Tahun 2002 Tentang
Penghapusan RAN Pengahapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Buruk Untuk Anak, Keppres
Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan
Perempuan Dan Anak.[1]
Perdagangan orang telah dikriminalisasi dalam hukum
Indonesia. Perdagangan disebut secara eksplisit dalam KUH Pidana dan
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut:
Pasal 297 KUH Pidana
menyatakan bahwa:
"Perdagangan
wanita (umur tidak disebutkan) dan perdagangan anak-anak laki-laki yang belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun".[2]
Pasal 65 dalam
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa:
"setiap
anak berhak memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan
seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk
penyalahgunaan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".
Definisi substansial lebih rinci dan operasional dikeluarkan
oleh PBB dalam Protokol untuk mencegah, menekan, dan menghukum perdagangan
orang, terutama perempuan dan anak. Konvensi PBB tersebut menentang kejahatan
terorganisir transnasional tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang
paling diterima secara umum dan digunakan secara luas. Pasal 3 protokol ini
menyatakan:[3]
a)
Perdagangan manusia
haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan
atau menerima individu-individu, dengan
cara mengancam atau
penggunaan paksaan atau bentuk-bentuk kekerasan
lainnya, penculikan, penipuan,
kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau
pemanfaatan sebuah posisi
yang rentan atau
pemberian atau penerimaan pembayaran atau
keuntungan untuk mendapatkan
ijin dari seseorang
untuk memeiliki kontrol terhadap orang
lain, dengan tujuan-tujuan
untuk mengeksploitasi. Eksploitasi
haruslah mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi
terhadap seseorang atau bentuk-bentuk
lain dari eksploitasi
seksual, kerja paksa, perbudakan atau
praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau
penghilangan organ;
b)
Persetujuan dari
seorang korban perdagangan
manusia atas eksploitasi
yang disengaja seperti yang
tertera dalam sub ayat (a)
pasal ini haruslah dianggap
batal ketika cara-cara
yang tertera dalam subayat (a)
digunakan dalam tindak perdagangan atau eksploitasi tersebut;
c)
Perekrutan, pengiriman,
pemindahan, penyembunyian atau
penerimaan seorang anak
untuk tujuan eksploitasi harus
dianggap sebagai perdagangan
manusia, meskipun jika
hal ini tidak melibatkan cara-cara yang tertera dalam
sub ayat (a) pasal ini:
“Anak-anak” harus berarti
semua orang dibawah usia delapan belas tahun.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur dari perdagangan orang adalah:
1.
Perbuatan: merekrut, mengangkut,
memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
2.
Sarana (cara) untuk
mengendalikan korban: ancaman, penggunaan, paksaanm berbagai bentuk
kekerasan,penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
3.
Tujuan: eksploitasi, setidaknya
untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa,
perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh.
Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan
adalah unsur tujuan, karena walaupun korban anak-anak tidak dibatasi masalah
penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus eksploitasi. Dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal
2 merumuskan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah:
"Orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut
di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".
Adapun beberapa faktor-faktor penyebab
terjadinya tindak pidana perdagangan orang antara lain adalah:
1.
Faktor
ekonomi, kemiskinan dan kelangkaan lapangan kerja.
2.
Faktor sosial
budaya, seperti relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan,
masih tingginya kecenderungan perkawinan di usia muda dan gaya hidup konsumtif
yang tepat menjadi titik lemah ketahanan keluarga dan masyarakat.
3.
Faktor
pendidikan yang masih rendah dan belum tersebarnya informasi yang utuh dan
lengkap tentang perdagangan orang.
4.
Faktor
penegakan hukum yang masih lemah yang belum mampu menembus jaringan pelaku
perdagangan orang yang sudah terbangun dengan sistematis.
Orang (Makalah Dsampaikan pada Temu Nasional Anti Perdagangan Orang dan
Pengukuhan Presidium Nasional Mitra Gender dan Formatur Daerah Mitra Gender,
Jakarta, 25 Januari 2006, hal. 5
[2] Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, terjemahan oleh Moeljatno, cet. 22, Jakarta: Sinar Grafika,
2003
[3] Ruth Rosenberg, Perdagangan
Perempuan Dan Anak Di Indonesia, Jakarta:USAID, 2003, hal. 287
TEORI SEBAB DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN
TEORI SEBAB KEJAHATAN
Adapun beberapa teori-teori tentang sebab-sbab terjadinya kejahatan,
yaitu :
1)
Teori lingkungan
Mazhab
ini dipelopori A. Lacassagne. dalam teori sebab-sebab terjadinya kejahatan yang
mendasarkan diri pada pemikiran bahwa “dunia lebih bertanggung jawab atas jadinya
diri sendiri”.[1]
Teori
ini merupakan reaksi terhadap teori antropologi dan mengatakan bahwa
lingkunganlah yang merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan
kejahatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah :
1.
Lingkungan yang memberi
kesempatan untuk melakukan kejahatan;
2.
Lingkungan pergaulan yang
memberi contoh dan teladan;
3.
Lingkungan ekonomi, kemiskinan
dan kesengsaraan;
2)
Lingkungan pergaulan yang
berbeda-beda.[2]
Jadi,
selian dari faktor internal (yang berasal dari diri pribadi), fakto eksternal
yaitu lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan kejahatan yang
bisa terjadi, seperti apa yang dinyatakan oleh W.A. Bonger yaitu “Pengaruh
lingkungan sangat berpengaruh dalam menentukan kepribadian seseorang, apakah ia
akan menjadi orang jahat atau baik.”
3)
Teori Kontrol Sosial
Pendapat
mengenai kontrol sosial dikemukakan oleh Reiss yang mengatakan bahwa :
Ada
tiga komponen dari kontrol sosial yaitu kurangnya kontrol internal yang wajar
selama masih anak-anak, hilangnya kontrol tersebut dan tidak adanya norma-norma
sosial atau konflik norma-norma yang dimaksud. Ada dua macam kontrol yaitu
personal kontrol dan sosial kontrol. Personal kontrol (internal kontrol) adalah
kemampuan seseorang untuk menahan diri agar seseorang tidak mencapai
kebutuhannya dengan cara melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat.
Sedangkan Kontrol Sosial (eksternal kontrol adalah kemampuan kelompok sosial
atau lembaga dalam masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan
menjadi efektif.[3]
Kontrol
sosial baik personal kontrol maupun sosial kontrol menentukan seseorang dapat
melakukan kejahatan atau tidak, karena pada keluarga atau masyarakat yang
mempunyai sosial kontrol yang disiplin maka kemungkinan terjadinya suatu
kejahatan akan kecil, begitu juga sebaliknya, suatu keluarga atau masyarakat
yang tidak mempunyai kontrol yang kuat maka kejahatan bisa saja mudah terjadi
akibat dari tidak disiplinnya suatu kontrol tersebut.
4)
Teori Spiritualisme
Menurut
teori ini sebab terjadinya kejahatan dapat dilihat dair sudut kerohanian dan
keagamaan, karena sebab terjadinya kejahatan adalah tidak beragamanya
seseorang. Oleh karena itu, semakin jauh hubungan seseorang dengan agama
seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk melakukan kejahatan
dan sebaliknya, semakin dekat seseorang dengan agamanya maka semakin takut
orang tersebut untuk melakukan hal-hal yang menjurus kepada kejahatan.
5)
Teori Multi Faktor
Teori
ini sangat berbeda dengan teori-teori sebelumnya dalam memberi tanggapan
terhadap kejahatan dengan berpendapat sebagai berikut: “Penyebabnya terjadi
kejahatan tidak ditentukan oleh satu atau dua faktor yang menjadi penyebab
kejahatan”.
Jadi,
menurut teori ini, penyebab terjadinya kejahatan tidak ditentukan hanya dari
dua teori saja, tetapi dapat lebih dari itu.
Dalam
hal penanggulangan kejahatan, maka perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan
sebelum terjadinya kejahatan serta memperbaiki pelaku yang telah diputuskan
bersalah mengenai pengenaan hukuman. Dari usaha-usaha tersebut sebenarnya yang
lebih baik adalah usaha mencegah sebelum terjadinya kejahatan daripada
memperbaiki pelaku yang telah melakukan kejahatan.
Menurut
Soedjono D mengatakan bahwa dapat dilakukan usaha-usaha sebagai berikut :
“Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi tindakan
preventif dan represif. Bertolak pada pemikiran bahwa usaha penanggulangan
kejahatan remaja merupakan langkah utama bagi penanggulangan kejahatan secara
umum”.
a.
Penanggulangan yang terarah
harus meliputi tindakan preventif dan rehabilitas sosial.
b.
Usaha penanggulangan kejahatan
yagn sebaik-baiknya harus meliputi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1.
Sistem dan organisasi
kepolisian yang baik;
2.
Peradilan yang objektif;
3.
Hukum dan perundang-undangan
yang wibawa;
4.
Koordinasi antara penegak hukum
dan aparat pemerintah yang serasi;
5.
Pembinaan organisasi
kemasyarakatan;
6.
Partisipasi masyarakat;
Pengawasan dan kesiagaan terhadap
kemungkinan timbulnyanya kejahatan.[4]
Penanggulangan kejahatan kalau
diartikan secara luas akan banyak pihak yang terlibat didalamnya antara lain
adalah pembentuk undang-undang, kejaksaan, pamong praja dan aparat eksekusi
serta orang biasa.[5]
Hal ini sesuai dengan pendapat
Soejono D. yang merumuskan sebagai berikut :
Kejahatan sebagai perbuatan yang
sangat merugikan masyarakat dilakukan oleh anggota masyarakat itu juga, maka
masyarakat juga dibebankan kewajiban demi keselamatan dan ketertibannya,
masyarakat secara keseluruhan ikut bersama-sama badan yang berwenang
menanggulangi kejahatan.[6]
Berdasarkan uraian di atas maka
usaha-usaha untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya kejahatan, maka kepada
masyarakat juga di bebankan untuk turut serta bersama-sama aparat penegak hukum
guna menanggulangi kejahatan semaksimal mungkin.
TEORI PENANGGULANGAN KEJAHATAN
Dalam usaha untuk menanggulangi kejahatan mempunyai dua
cara yaitu preventif (mencegah sebelum terjadinya kejahatan) dan tindakan
represif
(usaha sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan pula masing-masing
usaha tersebut :
(usaha sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan pula masing-masing
usaha tersebut :
1.
Tindakan Preventif
Tindakan
preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga
kemungkinan akan terjadinya kejahatan.
Menurut
A. Qirom Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah
mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali,
sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan
mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.[7]
Selanjutnya
Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang terpenting adalah :
1)
Preventif kejahatan dalam arti
luas, meliputi reformasi dan prevensi dalam arti sempit;
2)
Prevensi kejahatan dalam arti
sempit meliputi :
a.
Moralistik yaitu
menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat memperteguhkan moral seseorang agar
dapat terhindar dari nafsu
berbuat jahat.
berbuat jahat.
b.
Abalionistik yaitu berusaha
mencegah tumbuhnya keinginan kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang
terkenal sebagai penyebab timbulnya kejahatan, Misalnya memperbaiki ekonmi
(pengangguran, kelaparan, mempertinggi peradapan, dan lain-lain);
3)
Berusaha melakukan pengawasan
dan pengontrolan terhadap kejahatan dengan berusaha menciptakan;
a.
Sistem organisasi dan
perlengkapan kepolisian yang baik,
b.
Sistem peradilan yang objektif
c.
Hukum (perundang-undangan) yang
baik.
4)
Mencegah kejahatan dengan
pengawasan dan patrol yang teratur;
5)
Pervensi kenakalan anak-anak
sebagai sarana pokok dalam usahah prevensi kejahatan pada umumnya.[8]
2.
Tindakan Represif
Tindakan
represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum
sesudah terjadinya tindakan pidana.[9]
Tindakan
respresif lebih dititikberatkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana,
yaitu antara lain dengan memberikan hukum (pidana) yang setimpal atas
perbuatannya.
Tindakan
ini sebenarnya dapat juga dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan
datang. Tindakan ini meliputi cara aparat penegak hukum dalam melakukan
penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan,
eksekusi dan seterusnya sampai pembinaan narapidana.
Penangulangan
kejahatan secara represif ini dilakukan juga dengan tekhnik rehabilitas,
menurut Cressey terdapat dua konsepsi mengenai cara atau tekhnik rehabilitasi,
yaitu :
1.
Menciptakan sistem program yang
bertujuan untuk menghukum penjahat, sistem ini bersifat memperbaiki antara lain
hukuman bersyarat dan hukuman kurungan.
2.
Lebih ditekankan pada usaha
agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa, selama menjalankan hukuman dicarikan
pekerjaan bagi terhukum dan konsultasi psikologis, diberikan kursus
keterampilan agar kelak menyesuaikan diri dengan masyarakat.[10]
Tindakan represif juga disebutkan
sebagai pencegahan khusus, yaitu suatu usaha untuk menekankan jumlah kejahatan
dengan memberikan hukuman (pidana) terhadap pelaku kejahatan dan berusaha pula
melakukan perbuatan denganjalan memperbaiki si pelaku yang berbuat kejahatan.
Jadi lembaga permasyarakatan bukan hanya tempat untuk mendidik narapidana untuk
tidak lagi menjadi jahat atau melakukan kejahatan yang pernah dilakukan.
Kemudian upaya penanggulangan
kejahatan yang sebaik-baiknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(1)
Sistem dan operasi Kepolisian
yang baik.
(2)
Peradilan yang efektif.
(3)
Hukum dan perundang-undangan
yang berwibawa.
(4)
Koodinasi antar penegak hukum
dan aparatur pemerintah yang serasi.
(5)
Partisipasi masyarakat dalam
penangulangan kejahatan.
(6)
Pengawasan dan kesiagaan
terhadpa kemungkinan timbulnya kejahatan.
(7)
Pembinaan organisasi
kemasyarakatan.[11]
Pokok-pokok usaha penanggulangan
kejahatan sebagaimana tersebut diatas merupakan serangkaian upaya atau kegiatan
yagn dilakukan oleh Polisi dalam rangka menanggulangi kejahatan, termasuk
tindak pidana perjudian.
[1] Soejono, D.. Doktrin-doktrin
krimonologi, Alumni, Bandung, 1973, Hal. 42.
[2] Soejono, D., Penanggulangan
Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976, Hal. 42.
[3] Romli atmasasmita, Teori dan
Kapita Selekta Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1992, Hal. 32.
[4] Muladi, Lembaga Pidana
Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, Hal. 61.
[5] Soedarto, Kapita Selekta
Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, Hal. 113
[6] Soedjono D, Penanggulangan
Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976, Hal. 31
[7] A. Qirom Samsudin M, Sumaryo E., Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Segi Psikologis dan Hukum, Liberti,
Yogyakarta, 1985, hal. 46
[8] Bonger, Pengantar Tentang
Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 15
[9] Soejono D, Op. Cit, hal.
32
[10] Simanjuntak B dan Chairil Ali, Cakrawala
Baru Kriminologi, Trasito, Bandung, 1980, hal. 399.
[11] Soedjono, D, Op. Cit, hal.
45.
Subscribe to:
Posts (Atom)